GONTOR DARI DALAM

Laman ini dikhususkan untuk merangkum tulisan Ustadz Hasanain Juaini.

GONTOR DARI DALAM (1)

Oleh : Ustadz Hasanain Juaini
(Alumni Gontor, Pimpinan Pondok Nurul Haramain, Lombok Barat, NTB)
Bismillahirrahmanirrahim
Walsantor yang anaknya sekolah di Gontor, jelas tak perlu khawatir hanya karena berawal dari pemaksaan. Secara psikologis anak tamatan SD dan SMP masih dalam barisan angkare (dalam pramuka) sehingga memang membutuhkan bantuan dalam memilih jalan. Gontor tahu hal itu dan sudah ada mekanisme untuk menggilasnya. Ibu-bapak ikhlaskan dan do’akan saja dari rumah.
Menyibukkan adalah mekanisme perdana yang biasanya dirumah tidak mampu dilakukan orang tua. 24 jam bukan perkara mudah untuk mengisinya padahal gerbang kehancuran manusia itu tiga perkara: KEKOSONGAN, MASA MUDA DAN BANYAK UANG. Anak-anak santri yang dirumahnya memiliki ketiga-tiganya adalah mereka yang berat mengalami masa-masa awal di Gontor. Hallo…hallo…hallo ibu bapak walsantor yang kaya-kaya! segeralah bersujud jika anda-anda mampu menutup gerbang kehancuran ini.
Pengaruh kesibukan yang padat ini atau persisnya tak ada abisnye…he he he; membuat beberapa anak nervous, tapi sebaliknya anak-anak yang dirumahnya sudah biasa kerja keras hanya cengengesan saja bahkan terheran-heran melihat teman2 kotanya bagai cacing kepanasan. Opppsss pengurus Rayon sudah diperintahkan untuk memantau hal ini, maka anak-anak kusut akan dipertemankan dengan anak-anak cengengesan itu maka terjadilah sharing mentalitas menuju perimbangan. Tak akan lebih sebulan situasi yang bagai ombak bergulung akan berubah menjadi bagaikan permukaan air yang tenang dan landai-landai saja.
Energi lebih yang dimiliki anak-anak hari demi hari mulai tersalur. Oh ya ada juga anak-anak yang terlalu konfidence sehingga mengikuti berbagai jenis kegiatan extra. Satu dua minggu bisa dilaluinya dengan senangnya persis seperti ibu-bapak yang membawa banyak uang masuk restoran di mall, eee eee semua dibeli, diborong dan disajikan, begitu dua tiga sendok hallaaaaaaaah mau muntah. Ya hal ini juga akan dilibas oleh proses pengenalan diri akhirnya tersisa beberapa kegiatan yang terdaya dia ikuti. Maka ada mahfudzot: HALAKA IMRUUN LAM YAKRIF QODROHU=HANCURLAH MANUSIA YANG TIDAK MENGENAL UKURAN DIRINYA, yang diajarkan tepat waktu. Inilah yang membimbing anak-anak untuk menjadi lebih arif. Nah tapi siapa yang membimbing orang tuanya dirumah yang terbiasa BERGEBYAH UYAH?
Alhasil ibu-bapak kalau berkunjung ke Gontor (awas jangan terlalu sering) jangan ganggu anak-anak dengan kalimat-kalimat: Ohh kasihan anakku lelah sekali di Pondok. Enggak dapat makan enak, enggak dapat malas-malasan, tidak ada TV, tidak ada HP …dst. Sebaiknya kasihanilah diri sendiri yang dirumah tak terbimbing menuju hidup ala Rasulullah.
Saya punya kisah. Begini (Tak terlalu perlu. Kalau tdk ada waktu lewatkan saja) :
Pertengahan tahun 1979 ketika perpulangan pertama saya sampai dirumah sekitar tengah malam. Saya temukan ibu-bapak saya sedang akan berjamaah shalat tahajjud, setelah dibukanan gerbang, maka saya mencium tangan dan pipi ibuku lalu tangan dan pipi ayah.
Dari belakang punggung saya dengan isak tangis ibu saya yang meraba tulang iga saya dan berkata: Oh anakku mengapa engkau begitu kurus? Ibu terus menangis saat shalat tahjjud berjamaah tapi ayah selalu senyum tak bilang apa-apa.
Peristiwa yang mirip terjadi lagi pada perpulangan libur akhir tahun itu juga. Bedanya kini ibu saya tertawa sumringah karena saya memang berusaha untuk tidak membuatnya menangis sehingga selama di Gontor kalau makan berusaha banyak-banyak (maklum masa pertumbuhan kan? dan memang kata berjimat kyai Zarkasyi mengatakan: makanlah yang banyak tapi belajar harus lebih banyak). Saya berhasil, badan saya gemuk dan ibu tersayangpun tertawa senang. Alhamdulillah.
Ketika beranjak menyalami ayah saya, beliau tidak memberikan ekspresi senang. Beliau hanya menunggu saya menyampaikan pesan lisan Kyai Zarkasyi (seperti yang biasa diamanhkan waktu salaman akhir tahun) . . . Pesan Pak Yai assalamu’alikum . . .jaga nama baik pondok….bantu kerja2 orang tua . . . .bla bla bla…
Diruang shalat saya mendengar ibu saya menungkas ayah dengan katanya: Kak….mengapa kakak tidak senang dengan kepulangan anak kita kali ini? Agak kencang ayah saya menjawab: karena saya lihat dia di sana cuma makan tapi tidak belajar…
Ini benar bapak ibu. Keesokan harinya saya minta permisi minta kembali ke Gontor. Tidak jadi puasa dan lebaran bersama keluarga karena saya malu kepada mereka yang telah melahirkan dan membesarkan saya sedangkan saya tidak membua mereka BANGGA.
Karena di Gontor pada awal Ramadlan memang agak sepi, maka dengan izin Allah saya sering bertemu dan bercakap-cakap dengan Kyai Zarkasyi sehingga beliau kenal saya. Saya ingat sekali pada waktu shalat Iedul Fitri dengan nyaring beliau memanggil nama saya di mike dan ditunjuk untuk membagi-bagikan shadaqah dari kelebihan hasil percetakan beliau kepada santri-santri yang berdiam dan berpuasa di Gontor.
(Mohon do’a kesehatan agar bisa melanjutkan kisah-kisah Gontorian)
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


GONTOR DARI DALAM (2) Santri Jagoan Kelit

Oleh : Ustadz Hasanain Juaini
(Alumni Gontor, Pimpinan Pondok Nurul Haramain, Lombok Barat, NTB)
Hasil ujian masuk di Gontor mengemplang saya benar-benar sampai terkapar. Saya memang LULUS tapi ??? Tahukah ibu-bapak Walsantro abjad kelas terakhir tahun 1979 di Gontor adalah kelas “SATU HA”.
Disitulah bahtera saya tertambat. Hem…sedihnya setengah karena setiap kami jalan menuju kelas di halaman Gontor yang luas itu, seakan akan semua mata memandang kami dan (mungkin) dihatinya berbisik: “Itu mereka gerombolan anak-anak yang hampiiiiiiiiiiir tidak lulus”.
Bukan santri namanya kalau tidak pandai bela-belain dirinya. Selalu ada celah untuk tidak bersedih atau kalau bisa kita tertawa ngakak saja diatas kesedihan itu biar malu setannya. Mula mula modal berkelit diberikan oleh Pak Kyai. katanya begini: ” Mari kita sama-sama meminta maaf kepada capel-capel yang terpaksa tidak bisa diterima. Kita bukan tidak cinta cuma saja cinta tidak harus saling bersama. selamat jalan kawan semoga ditempat yang lain Allah memberi anda semua yang lebih baik”
Dengan permohonan maaf dan doa itu saja kedua bibir kami sudah berubah datar dan sejajar bentuknya dan tidak lagi ujung kiri kanannya turun kebawah seakan menunjuk kearah butiran-butiran harga dirinya yang jatuh. Lulus Kok Sedih sih? tak ada itu.
Hari pertama masuk kelas (Ini strategi Gontor yang canggih yang mengkhususkan kelas-kelas bepsikologi khusus semacam SATU HA, harus di wali kelasi oleh guru senior yang terhebat), masuklah seorang guru yang berbadan tegap dan atletis, rambutnya ikal hitam legam dan mengkilat, suaranya suara emas, baju, celana dan jas maching dan dasi yang bagus sekali.
Assalamu’alaikum ujarnya diawal perjumpaan itu, mimiknya dibuat seperti orang yang hendak menerima hadiah besar sekali. kami semua menerjemahkan body-language itu bagai beliau berkata: ” Aku ini Muhammad Bakhtiar Syam, pemuda asal Sulawesi yang telah dipilih secara khusus oleh Kyai zarkasyi untuk menjadi wali kelas dari sebuah kelas yang akan menjadi superior di Makhad ini” …Tanpa ba bi bu, ta ti tu beliau mengangkat telunjuk kedepan dadanya dan meminta kami mengulangi mahfuzot: Khairul umuuuri…..Khairul umuuuri…..Khairul umuuuri…..Khairul umuuuri.
Mula-mula dengan suara keras sekeras-kerasnya (mungkin maksudnya untuk mengusir setan atau menggilas pikiran yang masih melayang kerumah) setalh beliau memastikan kami telah hafal beliau menurunkan tone suara, demikian juga kami yang mengikutinya. dan akhirnya kami ditanya kira-kira terjemahannya apa? Nyaris semua mengangkat tangan dan akhirnya kami teriakkan saja: SEBAIK-BAIK PERKARA ITU……. ahaaaaaaaaa!!!! rasanya kami sudah jadi ulama besar sekarang.
Ustaz yang selalu kurindui Al-mahbub: Bakhtiar Syam, si gagah yang se konsul dan sekampung dengan “Si Baso dalam film N5M” itu lalu melanjutkan:
{maaf saya komentari sedikit: Lillahi Ta’ala rambut dan wajah mereka sangat mirif. Maka terpujilah yang memilih dan memerankan BASSO itu}
Ayo teriakkaaaaaaan : Khairul Umuuuri AU SATU HA…..Khairul Umuuuri AU SATU HA….Khairul Umuuuri AU SATU HA…..Khairul Umuuuri AU SATU HA…..Khairul Umuuuri AU SATU HA. Kebetulan kelas kami bertempat di Gedung Satelit kamar 12 yang berada paling ujung timur dan mepet ke jembatan sungai Malo.
Setelah kelelahan beliau menurunkan tangannya dan dan kamipun mendadak sepi…. ” Thoyyib…..man yutarjim?” kami terdiam sejenak dan saudara Kamaluddin BA, santri tertua asal Palembang yang masuk Gontor setelah menjadi sarjana muda alias Bachelor of Arch, nyeletuk:
“ustaz!!!…. kami tak ada pun santri nama thoyyib” Ustaz Bakhtiar Syam tersenyum dan menerjemahkah makna kalimat beliau tadi: baiklah….siapa yang bisa menerjemahkan mahfudzot tadi…”Khairul Umuuuri AU SATU HA” ??? Santri tertua setelah Kamaluddin BA adalah Abdul Bashit BA asal Medan angkat tangan dan dengan logikanya yang menebak bahwa mahfudzot itu ada hubungannya dengan Abjad kelas kami yang 1H. katanya menjawab: “Sebaik-baik kelas adalah kelas SATU HA” Siiiiiiiing….kami semua menaikkan alis, hati merasa takjub. Kok ada ya mahfudzot yang menjadi dalil bahwa kelas terendah dengan abjad HA adalah kelas paling hebat di dunia? Ustaz Bakhtiar Syam memegang perutnya, minta permisi keluar pintu kelas untuk tertawa tapi tangannya mengisyaratkan agar kami meneriakkan terjemahan mahfudzot dahsyat itu. maka menggemalah dalil paling perlukan itu memekakkan telingan…..
“Sebaik-baik kelas adalah kelas SATU HA”
“Sebaik-baik kelas adalah kelas SATU HA”
“Sebaik-baik kelas adalah kelas SATU HA”
“Sebaik-baik kelas adalah kelas SATU HA”
“Sebaik-baik kelas adalah kelas SATU HA”
Teng…teng…teng bel yang gedenya bak drum dan terbuat dari bekas peluru roket nyasar yang dipungut di hutan madiun itu menembus suara apapun di areal 25 hektar pondok modern Gontor.
Dengan disiplin tinggi ala Gontor, ustaz Bakhtiar Syam yang belum sempat memperkenalkan diri itu berwejang: ” nanti sore kita semua akan bertanding main sepak bola melawan kelas Satu B. Semua harus siap setelah shalat Ashar. Benar saja, dalam pertandingan antar santri-baru, kelas SATU HA adalah juaranya. Kelas pertama yang kami lindas adalah kelas Satu Be ( abisss lho bocah-bocah cilik) yang kebetulan anak-anaknya kecil keciiiiiiiiil.
Kami bangga dengan kelas kami SATU HA. We are proud to say: The best thing in the world is SATU HA. Sebulan setelah peristiwa itu, kelas SATU HA itu berganti isinya, karena sebagian besar kami mengikuti ujian eksperimen atau kelas yang lebih tinggi: Saya sendiri dan Akhmad Khairuddin, Purwanto, Abdul Bashit, Kamaluddin, Ulis Thofa diterima di kelas satu eksperimen (sekarang istilahnya kelas intensive) B. Yang lainnya banyak diterima di kelas dua…selanjutnya saya tidak tahu riwayat kelas heboh itu.
Akhmad Khairuddin ini adalah salah seorang yang sedianya akan hadir bersama saya di Kick Andy dalam Acara Man Jadda Wajada itu, namun kesibukannya sebagai top manager di Harriburton Ekploration Corporation di Taiwan tidak memungkinnya untuk datang. Bersama dia saya melalui kelas 1, 3, 5 dan enam dan selalu B. Juga kelak ketika kami sama-sama menjadi guru kami mendirikan KURSUS BAHASA INGGRIS yang kami beri nama “SPIRIT ENGLISH COURSE” yang sampai hari ini masih eksis di Gontor. Alhamdulillah.
Sedangkan Ustaz Bakhtiar Syam dipindahkan tugasnya menjadi wali kelas dari SATU HA ke Satu eksperimen B. Saya dengar desas desus beliau sudah jadi Guru besar di tumpah darahnya Sulawesi. Siapa tahu ada hubungan keluarga dengan si Basso atau Pemerannya itu. wallahu A’lam.
Wassalamu’alaikum. nanti kalau ada jeda waktu kita lanjutkan. Maaf kalau kepanjangan yang Bu??? ya Pak???

GONTOR DARI DALAM (3) PARLEMEN DAN KABINET ALA GONTOR

Oleh : Ustadz Hasanain Juaini
(Alumni Gontor, Pimpinan Pondok Nurul Haramain, Lombok Barat, NTB)
Dengan keyakinan penuh saya menduga bahwa jika Pak Lukman Saifuddin, Nur Wahid atau Ahmadi ditanya: ” mana lebih khidmat sidang Komisi, Sidang Pleno dan sidang Paripurna yang di Gontor atau yang di DPR&MPR RI? Jawabnya pasti YANG DI GONTOR dong!
Bejibun alasannya: Parlemen di Gontor tak ada boongnya, tak ada gajinya, tak ada melesetnya namun manfaatnya untuk menjamin proses pembentukan manusia-manusia Indonesia dan atau dunia yang beriman, berilmu, beramal dan berihsan.
Kelebihan yang tak mungkin mampu ditiru oleh DPR & MPR RI adalah bahwa di Gontor Parlemen ini setelah menyelesaikan GBHPondok, program kerja, kegiatan-kegiatan dan indikator kinerja serta anggaran biaya RAPBPondok, maka mereka semua lalu menanda tangani fakta integritas untuk menjadi ANGGOTA KABINET yang lazim disebut Pengurus Organisasi Santri Pondok Modern alias OPPM. Sayangnya saya tidak pernah menduduki banyak lebih dari empat posisi berbeda di dalam OPPM itu yaitu; Bagian Tamu, Bagian Penerangan Bulan Ramadlan, Bagian Binatu dan Bagian Keamanan Rayon (tepatnya di Rayon Koma Sigor Lama-dimana salah seorang anak-buah saya adalah Yudi Latif yang sekarang sering banget menjadi Narsum di TV. Maklum dia hebat sejak dulu di Gontor)
Saat menjadi Keamanan Rayon inilah saya mula-mula pertama membuat taman-taman sekelilingnya dan lalu ini menginspirasi taman2 yang ada sekarang bahkan ada menteri pertamanan sekarang di OPPM konon namanya BASATINO. he he he.
Pengalaman paling mengesankan adalah ketika menjadi Pengurus Bagian Penerimaan Tamu. Bagian ini biasanya diambil dari santri kelas B dikarenakan polume kerjanya yang luar biasa sibuk meladeni tamu-tamu yang ratusan dan bisa ribuan jumlahnya dalam sehari baik makan minum, mencarikan anak-anak yang dijenguk, membersihan tempat tidur serta menjamin ketersediaan dan kebersihan kamar air di kamar mandi.
Satu kali ada tamu wali murid yang sedang melihat kami sedang mencuci beberapa ratus piring selesai sarapan pagi. Wali santri itu lalu mendekat dan menanyakan berapa gaji kami sebulan? Terang saja kami hanya tersenyum dan tidak menjawab. Setelah cuci piring kami akan menyapu puluhan kamar dan menjamin agar semua anak-anak yang kedatangan walinya bisa bertemu se-cepat-cepatnya.
Suatu kali tamu begitu banyak yang datang maka nasi dan lauk pauk serta air minum harus diambil banyk juga dari dapur umum yang kami dorong dengan gerobak. nah kebetulan sekali yang mendapat giliran adalah saudara Muhammad Arwani asal Boyolali. Dia ini badannya agak kecil bin mungil. Dan inilah akibatnya: Arwani kembali ke kantor bukannya membawa gerobak berisi nasi, lauk pauk dan air minum untuk tamu, tapi kembali dengan basah kuyup tersiram kuah sayur, diguyur air minum yang tumpah dari ember besar serta….berlepotan dengan nasi-nasi dikepalanya. Rupanya muatan yang terlalu banyak sehingga di depan kantor bagian keamanan yang sering dijadikan tempat menumpuk besi beton itu dia menabraknya tumpukan besi beton maka diapun terangkat lalu terguling guling. Kwa kwa kwaka kaa.
Waktu menjadi anggota Bagian Binatu saya juga terkena penalti karena ada pakaian anak-anak yang rusak terbakar dimakan setrikaan. lalu peristiwa kebakaran juga terjadi pada waktu saya disana. Akhirnya sembari menyambut diputarnya film Negeri Lima Menara, maka saya pun harus turut mengklaim sebagai SHOHIBUL MANAROH karena di bulan ramadlan tahun 1983 sayalah penguasa menara di Gontor itu. Saya menjabat anggota pengurus bagian penerangan. Kami pemegang koncinya dan hanya kami yang bisa naik ke atasnya untuk menjamin loudspeaker yang mengumandangkan Azan, Khutbah, Pengumuman khusus dan yang paling penting dan ini harus diketahui WALSANTOR bahwa suara SERINE UNTUK MEMBANGUNKAN SAHUR dari puncak Menara Gontor itulah yang menjadi patokan sahurnya masyarakat sekujur kabupaten Ponorogo. oleh karenanya tidak boleh terjadi miss walau sekali saja.
Nah satu kali terjadilah peristiwa yang tak akan saya lupakan selama-lamanya yaitu, akibat sebelumnya terlalu penat menyiapkan capel-capel agar bisa lulus dalam ujian penerimaan siswa baru maka tanpa tidur sepicingpun saya menyetel sirine itu itu tepat waktu, lalu menunggu di Mimbar / mihrab masjid Jamik Gontor yang diresmikan Pak Hartoe itu.
Samar samar saya mendengar suara mendengung seperti suara lebah-lebah, makin lama makin mengungkit remanen-remanen kesadaran saya. dengan memaksakan diri saya mengkucek-kucek mata dan mulai …..dan…..ASTAGFIRULLAH mendadak saya merasa seperti terbang tinggi lalu jatuh kembali dan menciut menjadi kecil sekecil semut….itulah kira-kira rasanya ketika melihat bahwa dibelakangg punggung saya jamaah shalat subuh yang berisi tiga ribuan lebih jamaah sedang mengangkat tangan dan mengaminkan doa dari imam saat ini yaitu Al-ustaz Abdul Cholid Raimin.
Sungguh, tubuh saya memang terpaku namun hati saya mandab se mandab-mandabnya kepada saudara Muhammad Arwani si Boyolali yang terguyur kuah sayur itu. Betapa teganya dia tidak membangunkan saya ketika sirine sudah selesai, bahkan ketika azan dan iqamat. Saya membathin: “Pasti dia mau membalas dendamnya kepada saya akibat tragedi besar si gerobak sial itu.
Tapi kan sebaiknya dia harus marah kepada Allah yang mengirim tamu yang datang kok banyak banget? ” Tapi…….sebentar dulu…. Saya tidak jadi marah, malah ketawa ngakak karena setelah jamaah bubar saya melihat si Boyolali justru datang dari mimbar yang sebelahnya lagi (mimbar masjid Jamik Gontor itu memang dua banyaknya dan berimpit) dia juga mengucek-ucek matanya karena baru bangun dan jauuuuuuuuuuuuh lebih parah malunya sebab dia berada dimimbar yang terbuka blas sedangkan saya ada mimbar yang sedikit menutupi. Ketawa saya makin ngakak ketika membayangkan bagaimana rupanya Ribuan jamaah shalat subuh waktu itu mentertawai Al-Akh Al-jamiiiil Al-jamil Al-Mungil Al-Diguyur Muhammad Arwani Al-Boyolali.Yah memang kami sama-sama ketiduran dan sahurpun jadi laliiiiiiiiiiiiiii.
Wassalam.
(Walsantor. maaf kayaknya ini yang terakhir minggu ini sebab saya sudah akan berangkat nih. maaf ya? Mohon doanya)


GONTOR DARI DALAM (6): DAWAM RAHARJO, NUR CHOLIS MADJID DAN KYAI ZARKASYI

Oleh : Ustadz Hasanain Juaini
(Alumni Gontor, Pimpinan Pondok Nurul Haramain, Lombok Barat, NTB)
Sekitar tahun 1984, Drs. Dawan Rahardjo (Rasanya waktu itu beliau belum jadi doktor deh) merilis hasil risetnya tentang Pendidikan di Gontor, intinya beliau bilang bahwa pendidikan di Gontor itu eksklusive dan kurang berwawasan sosial.
Dengan enteng Pak Zar menjawab dalam beberapa kalipertemuan, baik dengan santri maupun dengan guru-guru:
” Mr. Prost Stacy seorang prefessor asal Perancis saja yang menginap di Gontor selama dua bulan, ketika ditaya tentang Gontor memberijawaban: Maaf Pak Kyai saya belum dapat membuat kesimpulan. Saya hanya katakan bahwa pengajaran Bahasa Asing Di Gontor lebih baik dari Berlits (Sebuah methodologi terkenal saat itu)”
” Dawan Rahardjo yang melihat Gontor hanya dalam satu hari hanya akan memperlihatkan keterbatasannya saja” Itu pamungkas jawaban Pak Zar. benar mana? Terserah Walsantor yang menilai.
Lain lagi kasus Cak Nur Cholis Madjid yang juga pulang ke Indonesia dari OHIO tahun 1984 itu malah mengharu biru Bangsa Indonesia dengan gagasan sekularisasinya. Kyai Imam Zarkasyi sampai mengeluarkan sebuah Motto baru yang beliau populerkan dimana dengan ungkapan: “Nur Cholis memang dari Gontor tapi Gontor bukan Nur Cholis”
Apa yang dapat saya tangkap dari maksud Pak Zar adalah beliau tidak suka kepada murid yang melawan Guru (maksudnya Cak Nur melawan gurunya Pak H Rosyidi yang telah mengkadernya). Kedua beliau seaan ingin mengatakan ketegasannya bahwa ide sekulerasasi Indonesia bertentangan dengan cita-cita Gontor. Maklum beliau sudah kenyang dengan serita alumni Gontor yang macam-macam. Pak Zar justru mengelu-elukan Pak Habib Chirzin yang berhasil menggerakkan Muslim Youth Internasionalsaat itu sehingga melahirkan manusia-manusia macam Anwar Ibrahim, Ir. sahirul Alim, Necmettin Erbakhan dll.
Walsantor coba perhatikan Langkah-langkah perjuangan putra Kyai Imam Zarkasyi Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi yang menantang sekuklarisasi dan Liberalisasi dengan CIOS-nya (Centre Of Islamic Occidental Studies ). Secara pemikiran Pak Kyai Hamid inilah ciplakan seratus persen Kyai Haji Imam Zarkasyi itu.
Setelah Kyai Zarkasyi wafat, beberapa kali Cak Nur Cholis Madjid pulang Gontor, sepertinya ada fasilitas dari Kyai Syukri Zarkasyi untuk menjembatani pemikiran beliau. Saya sendiri mengikuti seminar-seminar Cak Nur di Gontor yang kelihatan ada perubahannya. Saya pun melihat upaya itu berhasil apalgi setelah beliau melangsir ide barunya yaitu Pembangunan Masyarakat madani yang lalu mendorong pada mendirikan Paramadina. Saya kira masalah pendapat Cak Nur tentang Jilbablah yang menjadi penghalang keberterimaan beliau di kalangan alumni Gontor sehingga Gontor akan lebih hingar bingar kalau yang datang adalah Cak Nun alias Emha Ainun Nadjib yang berhasil menjilbabkan Indonesia dengan LAUTAN JILBABNYA. Bahkan Istrinya yang bintang film bisa dihijabkannya dengan sabar selama bertahun-tahun. Hallo Bu Novia Kolopaking anda jadi idola santri2 Gontor. Salamat Po! (Ini istilah Bahasa Tagalog untuk kata TERIMA KASIH)
Walsantor yang tercinta ! Terlalu panjang kalau kita teruskan thread ini dengan memuat tentang Gontor dengan orang kampung Gontor sendiri. Mungkin ada baiknya kita beri judul sendiri agar lebih jelas juga mengapa ada pembatas antara pergaulan santri dengan msyarakat kampung. Agar kita tidak sekedar asbun menyalahkan methode pendidikan sosial di Gontor. Setuju?
Wassalam
Madinah: Sabtu 10 Maret 2012
Pukul 2.30 Malam waktu setempat

GONTOR DARI DALAM (7): Kecintaan Kyai Ahmad Sahal dan Kyai Imam Zarkasyi Kepada Santri

Penulis: Ustadz Hasanain Juaini
(Alumni Gontor, Pimpinan Pondok Nurul Haramain, Lombok Barat, NTB)
Sebelumnya sudah saya kabarkan bagaimana BU Nyai mencintai santri sampai harus menjual tanahnya (baca: Ada Wanita Hebat di Belakang Gontor).
Sebenarnya sangat banyak kasus-kasus dimana kita bisa menyimpulkan bagaimana kyai Gontor sangat mencintai para santri. Mungkin yang paling ekstrim adalah ketika beliau bersumpah di depan ribuan santri. Sumpah itu terus menerus diulang-ulang. Entah saya tidak tahu maksudnya selain “Agar semua santri mendengar langsung sumpah itu” Selebihnya sekalipun ditulis dalam buku Pekan Perkenalan, saya tidak tahu himahnya.
Bunyi sumpah itu adalah:
” Ya Allah jika tempat tinggalku lebih baik, lebih nyaman dari tempat tinggal santri-santriku maka turunkanlah laknatmu atas kami sekarang juga”
Ketika saya sendiri sudah memiliki santri-santri dan hendak mengucapkan sumpah serupa, saya perlu secara teliti menghitung dan menimbang apakah memang sudah sebenarnya tempat tinggak santri saya lebih baik? Secara kebetulan ada seorang teman dari SWISS membelikan rumah untuk saya dan kelihatannya lebih bagus dari Asrama santri, maka saya tunda sumpah itu. Terlebih dahulu saya bertekad untuk membangun gedung berkramik dan berlantai tiga. Baru setelah itu: Bismillah sumpah serupa saya beranikan diri untuk mebucapkannya.
Ada para Alumni bertanya mengapa Kyai Imam Zarkasyi hanya punya mobil kuno yang di favoritinya? Yaitu Kijang Sena yang bentuknya kayak korek api itu? Saya kira jawabnya adalah karena beliau tidak ingin punya mobil melebihi bagusnya mobil Ambulance santri yang ada saat itu.
Saban Tahun keluarga Trimurti membagi zakatnya untuk para santri yang mukin selama liburan dan setelah selesai sholat ied. Mereka juga bersumpah bahwa apabila ada santri yang berhsil menghafal Al-Qur’an selama dia di Gontor maka Keluarga Tri-Murti akan menyembelih sapi untuk syukuran. Dan ini berlaku sampai kiamat (selama Pondok Gontor masih ada ).
Wassalam. Sampai disini dahulu


GONTOR DARI DALAM (13): Sepeda Ontel, Pak Sirman dan Kalender

Oleh: ustadz Hasanain Juaini
Alumni Gontor, Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Haramain, Lombok Barat
Bismillahirahmanirrahim
Kereta angin, demikian Kyai Zarkasyi lebih sering menyebut sepeda, mungkin konsekwensi logis beliau tinggal lama di Padang Panjang. Kadang-kadang beliau juga bilang sepeda onthel dengan lidah Jawa yang mantap.
Jangan coba-coba meremehkan sepeda onthel, apalgi merk “fongers” yang buatan Belanda itu. Sepeda onthel bagi Kyai Imam Zarkasyi adalah sejarah Gontor itu sendiri. Sebagai shahibul hikayah, saya sendiri mendengar beliau menceritakan bagaimana heroiknya si Fongers itu membela nasib Gontor.
Seperti kita ketahui tahun 60-an Indonesia dilanda paceklik dan terkecuali Gontorpun terancam gulung tikar. Disinilah kesungguhan dan keikhlasan mendirikan lembaga pendidikan diuji. Masing-masing keluarga pondok dan guru memutar orak bagaimana mempertahan cita-cita ini.

Bu Nyai Sahal, Bu Nyai Zarkasyi, bu Nyai Zainuddin Fannany dengan cara beliau masing-masing membela cita-cita suami-suami mereka. Kini para tetua Gontor dan guru-guru juga tak mau kalah berfastabiquk khairaat.
Adalah Pak Sirman yang terinspirasi dengan datangnya alat cetak di Gontor mengusulkan agar Gontor menerbitkan Kalender agar menjadi alat komunikasi antara Gontor dengan ummat Islam Se-jawa, siapa tahu ada diantara mereka yang empathy. Beliau sendiri bersedia keliling jawa untuk mengantarkan kalender itu dari rumah kerumah.
Ruas bertemu buku, Kyai Ahmad sahal setuju, maka kalender itupun dicetak ribuan lembar lalu Ustaz Sirman muda menggendong ribuan kalender itu keliling jawa sampai jakarta pulang pergi untuk mengantarkannya ke alamat-alamat yang sudah ditunjuk. Konon perjalan itu tidak kurang dari enam bulan lamanya. Subhanallah.
Pak Sirman oh Pak Sirman!!! Untuk al-mukarram saya berani katakan: Gontor adalah Pak Sirman dan Pak Sirman adalah Gontor. Kurang lebihnya kita serahkan kepada Allah.
Gontorkah lembaga pendidikan yang pertama menggunakan kalender sebagai media silaturrahim? saya tidak tahu. yang jelas jangan sekali-kali ada yang berniat menghapuskan keberadaan sepeda onthel dan kalender di Gontor itu, bagaimanapun zaman ini telah berubah.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Narmda, Lombok Barat, NTB
19 Maret 2012


GONTOR DARI DALAM (14): Banyak aktifitas: Beban atau keharusan).

Oleh: Ustadz Hasanain Juaini
Alumni Gontor, Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Haramain, Lombok Barat
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum wr. Wb.
Ringkasan tulisan ini ingin mengatakan: Aktifitas yang sebanyak-banyaknya itu adalah keharusan. Nah jika ibu-bapak kurang waktu silahkan ditinggalkan saja. Itu saja sudah cukup.
————————-
Yang punya waktu, mari kita lanjutkan:
DNA manusia itu semua sama baik miliknya Rasulullah, Alva Edison, BJ Habibie mapun putra putri ibu-bapak. sama sekali tak berbeda. Apa yang berbeda adalah situasi yang menginduksi agar DNA itu keluar dalam bentuk aksi lalu prestasi. Tentunya.
Proses induksi DNA agar melahirkan mRNA dan lalu perbuatan dan prestasi itulah missi pendidikan dan pengajaran. Namun pendidikan dan pengajaran ini memerlukan wasilah lagi yang disebut awareness atau “himmah”. Himmah setiap orang hanya bisa dipancing kemunculan-nya jika dia merasa eksistensinya ada di situ.
Pelajaran di Gontor jika diuraikan semuanya berjumlah 62 mata pelajaran, itu sebabnya masa ujian di sana selama dua bulan (lisan dan tulisan) sebuah masa yang sengaja dibuat untuk membiasakan santri menghadapi masa keter-tekanan-an JANGKA PANJANG. Sekalipun demikian anak Gontor tidak boleh berjingkrak-jingkrak kesetanan begitu lepas dari masa ujian seperti pesta-pesta, corat-coret, ngebut-ngebutan. Sebab menunggu hasil ujian adalah lebih menentukan karena merupakan cermin kapasitas diri. Yang dianjurkan adalah selesai ujian tenggelam dalam do’a “Semoga hasilnya baik”.
Saya kira anak-anak kita di SMP dan SMA yang “mbruah” begitu selesai ujian karena mereka tak perduli dengan hasilnya sebab hasil itu mungkin saja cerminan dari hasil contekkan. Dus tidak identik dengan dirinya sendiri.
Tidakkah 62 mata pelajaran itu sangat membebani?
Stop stop…stop. Siapa pula yang mengajari kita menghindari beban hidup ini? Ah sangat tidak rasional kalau mau hebat tapi tak sanggup memikul beban.
Sebanarnya 62 materi itu masih sangat sedikit jika menilik betapa luasnya kemungkinan kondisi hidup yang akan menantang kita dan anak-anak kita di masa depan. Seandainya tidak ada batasan waktu dan tempat, rasanya Gontor tidak akan segan-segan memasukkan ratusan atau ribuan mata pelajaran.
Untuk sedikit menawar batasan itu Gontor lalu menawarkan program pilihan yang dapat dipilih santri sekuat kemampuannya, sesuai dengan bakat dan dimana dia mersa eksistensinya terdongkrak. Sungguh akan sangat menyedihkan bersekolah di sebuah lembaga pendidikan dimana seorang anak hanya berkesempatan menjadi pecundang. Dalam sepuluh mata pelajaran tak satupun dia menjadi yang TER…
Gontor memahami bahwa semakin banyak mata pelajaran semakin terbuka kemungkinan dimana tidak seorangpun tidak menjadi juara, setidaknya di salah satu mata pelajaran/pelatihan/ketrampilan yang diselenggarakan. Maka ada seorang santri yang hampir down disemua mata pelajaran, namun dia menjadi maestro dalam kalighrafi atau sepak bola atau bahasa Inggris atau seni baca al-qur’an. Mencapai prestasi puncak dalam suatu materi bisa menjadi trigger untuk memacu dia mengejar bidang lain.
Pada sisi yang lain, jika seorang anak tidak pernah terkalahkan akan membuatnya tinggi hati, maka dengan banyaknya materi akan memungkinkan dia tidak menang di semuanya. Jadi? Kalahpun kita harus belajar dan biasa mengalaminya.
(Maaf) Ada dua Alumni Gontor periode saya 1983-1984 yang digontor hanya menang di salah satu saja materi (SENI), kenyataannya merekalah yang pertama tampil di Televisi membawa nama hebat Gontor, puluhan tahun sebelum yang lain bisa menyusul. Gontor benar telah memperbanyak aneka rupa materi pendidikan dan pengajaran.
Kyai Haji Imam Zarkasyi biasanya membuka Pidato Sambutan setelah ujian dengan pertanyaan:
” Anak-anakku…apakah ada diantara kalian yang menjadi gila karena kebanyakan belajar? “
” Tidak ada…dan tidak akan pernah ada. Tapi jika ada yang mati karena belajar, maka pondok ini dengan bangga melepaskan dia menuju syurga “
Lalu serempaklah dibaca bersama-sama sebuah Hadits:
” Man khoroja fii tholabil ilmi, fahuwa fii sabiilillahi hatta yarji’a = barang saiapa keluar untuk menuntut ilmu, maka dia hakekatnya berada dalam fii sabiilillah sampai ia kembali ke rumahnya ” Mereka yang meninggal di Gontor adalah Syuhada’. Amiin
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar